Media untuk Karya, Karsa, Rasa dan Apa Saja

Tangis Dusta Ujung Desa

Malam selepas petang itu, telepon genggam milikku berdering. Ada panggilan selular masuk dari salah seorang Petugas Keamanan Rumah Sakit Umum Daerah Kota Padangsidimpuan
Ilustrasi (Samman Siahaan)

yang memecah kesunyian selepas hari penuh penat Sabtu 5 September 2015 malam.
Seperti hari hari biasanya, usai penat, sepi pasti menyusupi pikirku. Entah karena rindu yang telah berkarat pada kampung halaman, teman se-kampung atau pada cerita-cerita kecil dahulu, tak tertinggal juga pada beberapa wajah yang masuk pada senarai calon Boru tulang. Hehe.
“Cepat kemari, Dek. Ada mayat korban perampokan di kamar jenazah,” suara dari balik sambungan telepon genggam itu seperti mendesak untuk kemudian bangkit dan beranjak.
Kuda besi peninggalan sang ayah pun kunyalakan untuk kemudian menyahuti kecemasan akan ketertinggalan informasi. Begitu seorang juru warta, pantang tertinggal.

Dari dalam kamar jenazah Rumah sakit, jasad kaku seorang pria telah direbahkan pada ‘Tataring' pemulasaraan. Wajahnya penyok, kepala pecah mengeluarkan isinya. Tidak ada luka lain selain pada bagian kepalanya. Pria berusia 39 Tahun itu bernama Armansyah. Setidaknya itu yang tercantum pada Kartu Identitas yang ditemukan pada saku celananya.

Desas-desus tentang kematian pria itu sementara menyimpulkan kalau ia menjadi korban perampokan sekaligus pembegalan. Ya, korban pembegalan yang terjadi di tengah jalan tanah liat, jalan penghubung desa yang terpojok di antara hutan, perkebunan dan belantara tandus.

Pengap beserta aroma darah menggenggam udara dalam kamar yang menyatu dengan sarana peti es jenazah Rumah Sakit itu. Paramedis pun mulai melakukan aktifitasnya. Ada yang mengukur tinggi badan, ada yang mencatat fakta visum et repertum dan ada pula yang mulai melakukan penjahitan luka di kepala jasad pria malang yang mati di jalanan desa, yang seharusnya menjunjung tinggi kata adat istiadat dengan segala lakunya.
Aku pun keluar, sekedar mencium wewangian angin malam. Ku hirup perlahan dan ku tiup merdu, seperti halnya seseorang yang bersemedi pada ketentraman alam. Tapi ini bukan cerita alam bebas, hanya kenikmatan rasa lega usai disandera mual, pengap dan aroma darah.
Khidmat yang beberapa saat ku nikmati, buyar dengan pekik tangis yang pecah di sudut beranda kamar jenazah. Seorang nenek paruh baya, pria tua dan seorang wanita 30-an sahut bersahutan, menangis dan memadatkan suasana.
Si Nenek yang terakhir diketahui sebagai Ibunda lelaki kaku itu tidak henti-hentinya menangis. Sesekali ia menyimpan airmata pada punggung gadis belasan tahun yang memapahnya.

Sedangkan wanita berbadan molek itu malah terduduk dan larut dalam tatapan kosong. Ia juga menampakkan kemelut di wajah, antara duka dan luka. Wanita itu Nurhayati, adalah istri lelaki kaku yang barusan mati tragis. Sedangkan gadis belasan tahun yang kemudian terduduk diataranya adalah anak pertama mereka, Tika.

Suasana semakin ramai, bahkan lebih riuh dari Pasar Sangkumpal Bonang yang saban hari diisi pedagang kaki lima, para pembeli serta Satuan Pamong Praja setempat yang bergemuruh pada kisaran angka-angka rupiah. Di malam itu, perbincangan tak hanya sekadar kronologi perampokan, perbincangan juga berarah pada masa depan anak-anak serta harta yang ditinggali. Oh Tuhan, sebegitu cepatlah hal demikian untuk dibicarakan.
Dari perbincangan para pembesuk, polisi dan saksi-saksi. Diketahui, lelaki kaku itu adalah seorang pemilik usaha sejenis pakan hingga pestisida di pasar tradisional tepian jalan lintas Padangsidimpuan-Sipirok. Ia kehilangan belasan juta rupiah pada tragedi itu, namun lebih disayangkan lagi lelaki itu kehilangan nyawa dan masa depan anak-anaknya tentu juga akan terancam.
Satu duduk di bangku SMA, satu Tsanawiyah dan satu lagi masih Sekolah Dasar. Sebab mereka masih belia, menjadi yatim amatlah berkurang sebahagian perhatian.

Lelaki kaku itu awalnya bersama sang istri bermaksud membeli ayam kampung di sudut desa Simirik. Sepulang keduanya, sekelompok orang mencegat mereka di tengah perjalanan, hingga terjadi pembunuhan sadis dan menyisakan misteri-misteri kampung yang acapkali liar hingga pada paham mistis.
“Dimana terakhir Handphone bapak dek?,” tanya Iskandar, seroang petugas kepolisian berpakaian preman, dilemparkan pada anak si Lelaki kaku dalam kamar jenazah itu.

“Aku tak tahu pak, tadi di Rumah, tapi katanya hilang,” sahut Tika, anak pertama si Lelaki Kaku yang mati beberapa jam sebelumnya dengan luka parah di kepala.

Pak Polisi yang berkepala gundul itu tampak menyiratkan wajah bingung dan penuh curiga. Hingga ia menanyakan untuk kedua kalinya. Namun jawaban Putri berbeda lagi, terakhir ia mengatakan, Telepon Genggam milik Almarhum Ayahnya itu ada sama sang ibu. Tak banyak pertanyaan lagi, Polisi itu pun berpaling seperti sudah mendapat kesimpulan.

Beberapa saat seterusnya, bersama keluarga. Jasad lelaki tua itu dibawa ke Rumah duka di Desa Pargarutan Julu. Satu desa di lembah Dolok Sibual-buali, Kecamatan Angkola Timur, Kabupaten Tapanuli Selatan. Samman Siahaan (Bersambung)

Labels: Sastrawi

Thanks for reading Tangis Dusta Ujung Desa. Please share...!

0 Komentar untuk "Tangis Dusta Ujung Desa"

Back To Top