Sehelai tikar anyaman pandan digelar di bawah pohon rambutan.
Sekelompok perempuan merumpi atau markombur di atasnya dengan beragam polah:
ada yang tidur-tiduran, duduk berselonjor kaki, atau telentang menghadap
langit. Sejuk dan teduh. Angin desa yang berhembus dari bebukitan, terasa
lembut melengkapkan segalanya.
Ilustrasi |
Kini pemandangan semacam itu sudah sulit ditemukan: televisi
sudah masuk desa, kaum ibu mulai paham infotainment bahkan mulai candu pada
sinetron. Perlahan-lahan, mereka mulai jarang berkumpul. Dan pohon-pohon di
pekarangan rumah mulai terlupa. Sejak itu, satu sama lain mulai merasa terasing
dan semakin mudah saling curiga.
Gaya hidup kota, denyut modernitas atau laku postmodern,
mulai merangsek sebagaimana dihasratkan kapitalisme. Dan suami-suami yang
tadinya lekat pada sahaja warung kopi, mulai tergiur merambah hutan, menjual
batang batang kayu, atau manghabisi liukan rotan di hutan-hutan yang hijau dan
basah. Bertahun-tahun kemudian, kita terkejut merasakan cuaca dan iklim yang
tadinya sejuk, kini mendera kita dengan hawa panas.
Produsen kulkas merambah dan terus memperluas pasar, juga
kipas angin. Mesin pendingin udara atau AC, ikut ambil bagian bersamaan dengan
datangnya kabel dan tiang listrik. Kaum ibu desa, mau tidak mau, harus belajar
lagi mengenakan pakaian ‘setengah jadi’ akibat cuaca panas. ‘Pakaian setengah
jadi’ itu mereka sebut yukensi. Hmmm....
Begitulah pembangunan, industrialisasi dan modernisasi
menunjukkan wajahnya. Dan kini, kaum intelektual kota ikut pula cari makan atau
berbisnis dengan rekayasa isu global warming. Tentu, perempuan ikut jadi isu
mahal, bias jender terus digugat, feminisme terus diproduksi sebagai wacana.
Maka jangan heran, lipstik masuk desa kini berperan besar melenyapkan tradisi
makan sirih di kalangan perempuan desa. Betapa kacaunya!
Imajinasi saya begitu saja bergerak mencomot pohon dan
perempuan. Kita telah begitu banyak belajar dari kedua hal ini. Seseorang yang
kehilangan jati diri, baik dari tujuan, norma dan adat istiadat, kerap
diistilahkan sebagai kehilangan akar. Seseorang yang jatuh atau sengaja
dijatuhkan dengan pelbagai trik fitnah, kerap membentengi diri dengan pepatah,
“semakin tinggi pohon, semakin kencang angin berhembus." Lalu, sebuah
petuah akan selalu lekat di ingatan, “jika kau ingin ditinggikan, lentur dan
lembutlah seperti pucuk pohon, jangan serupa batang yang keras dan kaku.”
Kita tahu, setiap ibu yang pernah menganut petuah itu, akan
menanamkan juga nilai-nilai itu pada anak-anaknya, pada generasi baru yang
diharap bisa menegakkan marwah keluarga. Seberapa panjangkah pusaran hidup ini?
Pada akhirnya, tentang kematian atau kebenaran, kita diingatkan bahwa surga ada
di telapak kaki ibu. Sampai di sini, kita patut merenung, jangan-jangan seluruh
persoalan hidup sesungguhnya sudah selesai ketika kita berhasil mencintai pohon
dan perempuan. Bah!
Demikian memang, pohon menawarkan kepada kita kelembutan
yang tiada habis, tapi ia juga menyimpan bahaya. Negara hampir tak pernah
tenang karena pohon. Kita tentu ingat bagaimana ribuan petani terusir dan
terampas kehidupannya karena pohon, dituding melakukan illegal loging atau
merambah hutan. Mereka tercerai berai, lalu meneruskan hidup yang selanjutnya
tak pernah kita saksikan lagi. Setelah mereka ditangkap, dipenjara, lalu bebas
lagi, kita tak pernah bertanya, ke mana mereka pergi setelah itu? Kita hanya
tahu, meski mungkin tak pernah menyadari, bagi mereka hidup terus berjalan dan
bagaimana mereka menyiasati derita, negara tak pernah peduli.
Para perempuan yang suaminya ditangkap itu, betapa ngilu:
mereka harus tampil sebagai pahlawan membela darah dan marwah keluarga. Dan,
keteguhan dan kehancuran berada di tangan para perempuan ini. Dan politik jeli
melihat peluang dari sisi ini. Iblis juga sangat cermat mempelajari rumus ini.
Maka pelacuran kian menggila dengan bermacam kedok, penjahat-penjahat berdasi
kerap memperalat perempuan memuluskan ambisi atau menghancurkan lawan. Dan kita
hampir terkecoh, perempuan-perempuan yang diidentifikasi sebagai pahlawan
seringkali hanya bentuk paling lembut dari kejahatan kapitalisme.
Dan ajaibnya, perempuan cantik atau artis yang sekilas
bicara tentang lingkungan, selalu lebih terkenal ketimbang kaum agamawan dan
guru-guru yang menyerahkan hidupnya menjaga desa dan lingkungan terpencil.
Begitulah, kota-kota kian gersang. Dan kenyataan itu merongrong keteguhan dan
kepekaan kita sebagai manusia, sebab kita juga mulai ikut menghabisi
pohon-pohon demi hedonisme yang ditularkan kapitalisme. Tapi kita tahu, Negara
tak pernah menjadi gemilang hanya karena kesedihan dan kesepian sekelompok jiwa
yang terbatas. (Panda MT Siallagan)*** solup.blogspot.co.id
Labels:
Fakta
Thanks for reading Lalu, Baju Setengah Jadi Itu Mereka Sebut Yukensi. Please share...!
0 Komentar untuk "Lalu, Baju Setengah Jadi Itu Mereka Sebut Yukensi"