Media untuk Karya, Karsa, Rasa dan Apa Saja

Catatan Kecil di Tempat Pembuangan Sampah (Kedua)

Tak Mengkais, Tak Dapat Bersekolah

Seorang bocah TPA Batubola mencoba menyembunyikan wajah di balik layar gubuk yang sengaja di  dirikan di Gundukan Sampah itu untuk berteduh bagi para pemulung
...

Tak mengkais tak dapat bersekolah, kalimat yang dilontarkan salah satu orangtua pemulung di TPA Batubola Dusun Batubola, Desa Simatohir, Kecamtan Padangsidimpuan Angkola Julu, Kota Padangsidimpuan mulai  mengusik keheninganku bersama sanubari.
Kenapa demikian? Mengapa harus turut turun ke bukit sampah itu?.kendati biaya hidup yang teramat kurang bagi warga Batubola yang berprofesi sebagai pemulung, memaksa orangtua-orangtua mereka yang umumnya memang menjadi pemulung pun membiarkan anak mereka ikut memulung.
Sebagian besar anak-anak dari pemulung di TPA Batubola adalah anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah dan jarak terdekat dari Dusun ke sekolah berkisar 1300 Meter. Di Dusun Batubola ini, dari 81 kepala keluarga, terdapat 17 kepala keluarga yang berprofesi sebagai pemulung dan dengan disertai anggota keluarganya masing-masing.
“Kalau tak mengkais  tak dapat bersekolah,” Ujar seorang ibu yang diketahui bernama Hana boru Ritonga (33) yang memiliki 4 orang anak yang masih bersekolah dan ikut serta sebagai pengkais rezeki dari tumpukan-tumpukan sampah yang beragam jenis itu.
Hana berujar, pengahasilan sebagai pemulung hanya cukup untuk kebutuhan sehari saja, oleh karena itu juga memaksa dirinya untuk membiarkan anak-anak turut serta sebagai pemulung di daerah yang penuh ancaman penyakit itu.
“Dari memulung ini hanya cukup untuk makan sehari saja, paling besar pendapatan saya sendiri hanya Rp 40 ribu dalam sehari. Sementara saya ingin sekali anak-anak bisa bersekolah, tetapi kalau untuk memberikan jajan dan biaya sekolah, dari penghasilan kami jelas tidak mencukupi. Karena itu saya membiarkan mereka ikut memulung, meski kadang mereka mengalami sakit karena asap dan kotoran sampah,” terangnya dengan wajah yang perlahan menyirat kesedihan akan nasib sebagai ‘Parmanjal’ itu.
Sementara orangtua lainnya, Uli boru Saragih (53) yang juga ibu dari 6 Anak tersebut menuturkan bahwa dirinya hanya seorang diri menghidupi 6 anaknya. Sebagai janda yang harus bertanggungjawab pada kelanjutan buah hatinya itu, hanya bisa menghasilkan Rp 30 ribu sebagai biaya kebutuhan sehari.
Sedangkan untuk kebutuhan sekolah anak-anaknya, jelas takkan dapat mencukupi, apalagi jarak kediaman mereka ke sekolah terdekat cukup jauh dan harus menggunakan angkutan umum yang memakan biaya minimal Rp 8 ribu untuk pulang perginya.
Hal itu juga membuatnya untuk membiarkannya dan ikhlas membaurkan anak-anak dengan panasnya suasana TPA yang pasti penuh dengan sumber penyakit.
 “Ongkos anak saya saja untuk sekolah sudah hampir habis Rp 18 ribu setiap harinya, sementara saya hanya berpenghasilan Rp 30 ribu sebagai pemulung ini. mereka harus bersekolah di Pasar (Pusat Kota) supaya bisa belajar sesuai dengan keyakinan. Jadi ongkos anak-anaknya itu untuk menggali ilmu di bangku sekolah, harus mereka sendiri yang mencari, untuk itu mereka ikut sebagai pemulung,” terang Janda yang ditinggal mati almarhum suaminya itu.
Pada dasarnya juga, anak-anak disini dengan sadar akan kebutuhanya masing-masing, dan tak ingin membebani orangtua dengan banyak permintaan. Sukri (11) misalnya, anak yang juga pemulung dan  saat ini sedang duduk di bangku kelas 6 SD itu mengatakan, dirinya ikut memulung karena ia yakin ayahnya tidak akan mampu membiaya dirinya bersekolah bila ia tidak membantunya.
“membantu ayah, karena saya yakin kalau tidak membantunya ikut memulung, saya tidak akan bisa sekolah. karena ayah jelas tidak akan mampu,” kata anak yang punya cita-cita sebagai pemain bola tersebut.
Kepala Dusun Batubola Imbalo Harahap mengungkapkan, kalau bantuan kesehatan dan bantuan sosial dari Pemerintah setempah kepada para pemulung di Batubola itu hampir tidak pernah ada sama sekali.

“Belum pernah ada bantuan sosial dari pemerintah, bahkan bantuan kesehatan pun setahu saya belum pernah ada. Sementara dari 17 Kepala keluarga yang bekerja sebagai pemulung itu, sangat memprihatinkan,” kata ketua yang memiliki wilayah pembuangan sampah yang berusia lebih 3 dasawarsa tersebut. (Samman Siahaan)
Labels: Feature

Thanks for reading Catatan Kecil di Tempat Pembuangan Sampah (Kedua). Please share...!

0 Komentar untuk "Catatan Kecil di Tempat Pembuangan Sampah (Kedua)"

Back To Top